IDE MANUSIA TERBELENGGU MENURUT SWAMI VIVEKANANDA DAN ARTHUR SCHOPENHAUER SERTA IMPLIKASI ETISNYA
DOI:
https://doi.org/10.25078/sjf.v15i2.3977Kata Kunci:
ide manusia terbelenggu, etika, Swami Vivekananda, Arthur SchopenhauerAbstrak
Jean-Paul Sartre (1905-1980) mengatakan manusia ditakdirkan untuk bertindak bebas. Plautus di tahun 195 SM mengatakan manusia adalah serigala bagi sesamanya manusia, dengan kata lain manusia cenderung terbelenggu untuk berkehendak jahat ketimbang sebaliknya. Para filsuf terbelah pada kubu yang lebih optimis atau lebih pesimis dalam memandang manusia. Swami Vivekananda dan Arthur Schopenhauer sama-sama memiliki pandangan yang pesimistis atas kehidupan dan manusia. Artikel ini berfokus untuk menelaah ide Schopenhauer dan Vivekananda mengenai manusia terbelengu. Serta akhirnya penulis ingin mengetahui implikasi etis yang dihasilkan jika bertolak dari pandangan mereka yang berkesesuaian? Penelitian ini bersifat kualitatif, eksplanatif, dan studi kepustakaan. Arthur Schopenhauer melihat kehidupan sebagai penderitaan yang tak berujung dan ini bersumber dari noumena Kehendak yang tidak rasional dan kehidupan yang seperti komedi dan tragedi. Ia sendiri juga mengakui terinspirasi oleh ajaran-ajaran Hindu Vedanta. Swami Vivekananda selaku tokoh penting pembawa Vedanta ke Eropa pernah mengkritisi Schopenhauer perihal natur dari “kehendak.” Namun demikian Vivekananda juga memiliki pesimisme terkait manusia dengan adanya maya, pengetahuan dan manas manusia yang terbelengu, karma, samsara, klesa, serta trinitas ketidaktahuan, kehendak, dan ketidaksetaraan. Oleh sebab itu sekalipun tidak sama persis dalam hal natur kehendak manusia, Vivekananda dan Schopenhauer sama-sama menekankan adanya ide manusia terbelenggu. Implikasi etisnya manusia membutuhkan kesadaran untuk menyelesaikan sendiri pergumulan moralnya atau determinasi penyadaran dari yang bukan dirinya.