https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/issue/feed Pangkaja: Jurnal Agama Hindu 2024-09-30T00:00:00+08:00 Pangkaja jurnalpangkaja@gmail.com Open Journal Systems <table class="data" width="100%" bgcolor="#f0f0f0"> <tbody> <tr valign="top"> <td width="20%">Nama Jurnal</td> <td width="80%">: <a href="http://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH" target="_blank" rel="noopener"><strong>Pangkaja: Jurnal Agama Hindu</strong></a></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">Frekuensi</td> <td width="80%">: <strong>Maret dan September</strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">DOI</td> <td width="80%">: <strong><a href="https://doi.org/10.25078/pjah.v26i1.1425">https://doi.org/10.25078</a></strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">ISSN Cetak</td> <td width="80%">: <a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/1180428961" target="_blank" rel="noopener"><strong>1412-7474</strong></a></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">ISSN Online</td> <td width="80%">: <a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/1533781295" target="_blank" rel="noopener"><strong>2623-2510</strong></a></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">Indexing</td> <td width="80%">: <strong><a href="https://garuda.kemdikbud.go.id/journal/view/32019" target="_blank" rel="noopener">Garuda</a>, <a href="https://scholar.google.co.id/citations?user=2Q4s1mcAAAAJ&amp;hl=id" target="_blank" rel="noopener">Google Scholar</a>, <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2623-2510" target="_blank" rel="noopener">Road</a></strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">Editor-in-Chief</td> <td width="80%">: <a href="https://scholar.google.com/citations?user=8EmyeioAAAAJ&amp;hl=id&amp;oi=ao" target="_blank" rel="noopener"><strong>I Gede Suwantana</strong></a></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">Kontak</td> <td width="80%">: <strong>jurnalpangkaja@gmail.com</strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">Penerbit</td> <td width="80%">: <a href="https://uhnsugriwa.ac.id/" target="_blank" rel="noopener"><strong>Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar</strong></a></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="20%">Deskripsi</td> <td width="80%"> <p dir="ltr">Pangkaja: Jurnal Agama Hindu merupakan jurnal ilmiah yang dikelola oleh Program Studi Magister Brahma Widya Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Pangkaja: Jurnal Agama Hindu adalah media untuk mempublikasikan hasil penelitian yang berkaitan dengan berbagai masalah Agama, Sosial dan Budaya Hindu yang semakin kompleks dewasa ini seiring derasnya arus globalisasi.<br />Fokus Pangkaja: Jurnal Agama Hindu adalah Agama, Sosial, dan Budaya Hindu.</p> </td> </tr> </tbody> </table> https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3868 PENGGUNAAN PALAKIWA DALAM UPACARA NGABEN DI DESA ADAT KULUB KECAMATAN TAMPAKSIRING KABUPATEN GIANYAR 2024-06-27T04:52:44+08:00 I Made Restu Artama artamarestu1104@gmail.com Ni Gusti Ayu Agung Nerawati agungnerawati1971@gmail.com Jro Ayu Ningrat ayuningrat405@gmail.com <p>Dalam mewujudkan rasa bhakti &nbsp;memuja&nbsp; kebesaran Tuhan, masyarakat di Desa&nbsp; <em>Adat </em>Kulub Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, melakukan <em>upacara pitra yadnya </em>yang dimana di dalamnya terdapat rangkaian pelengkap <em>upacara </em>yang disebut dengan <em>Palakiwa</em>. <em>Upacara </em>ini diyakini sebagai salah satu wujud rasa bhakti serta pengorbanan suci yang ditunjukan kepada para leluhur sehingga para <em>pertisentana </em>kelak mendapatkan kebahagian serta dianggap tuntas membayar hutang kepada leluhur. Berdasarkan fenomena yang terdapat pada pelaksanaan <em>upacara Pitra yadnya </em>tersebut, sangat penting dilakukan suatu penelitian dengan judul “Penggunaan <em>Palakiwa </em>Dalam <em>Upacara Ngaben </em>Di Desa <em>Adat </em>Kulub Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar (Kajian Filsafat)”. Dalam penelitian ini mengangkat tiga permasalahan pokok yaitu : (1) Bagaimana proses penggunaan <em>Palakiwa </em>dalam <em>upacara ngaben </em>di Desa <em>Adat </em>Kulub, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar ?, (2) Apa fungsi penggunaan <em>Palakiwa </em>dalam <em>upacara ngaben </em>di &nbsp;desa <em>Adat&nbsp; &nbsp;</em>Kulub Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar ?, (3) Simbol apa yang terkandung dalam penggunaan <em>Palakiwa </em>pada saat <em>upacara ngaben </em>di Desa <em>Adat </em>Kulub, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penggunaan <em>Palakiwa </em>tersebut, kemudian untuk mengetahui fungsi dari penggunaan <em>Palakiwa </em>serta untuk mengetahui simbol makna apa yang terkandung di dalam pelaksanaan <em>P</em><em>alakiwa </em>dalam <em>u</em><em>pacara ngaben </em>yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa <em>Adat </em>Kulub, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskritif kualitatif yang dibantu dengan tiga jumlah teori yang meliputi: Teori religi, teori fungsional struktural, dan teori simbol. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, serta studi kepustakaan. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan metode interpretative deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan (1) proses penggunaan&nbsp; <em>Palakiwa </em>merupakan salah satu rangkaian dari <em>upacara ngaben </em>yang sebagai salah satu cara untuk menghaturkan rasa bhakti terhadap leluhur. (2) Fungsi yang terdapat dalam penggunaan <em>Palakiwa </em>adalah fungsi religi, fungsi sosial, fungsi kemakmuran, keharmonisan dan keseimbangan. (3) makna yang terkandung dalam penggunaan <em>Palakiwa </em>yang dilakukan ialah makna estetika dan filsafat (<em>tattwa</em>).</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3699 ATMAN SEBAGAI SAT GURU DALAM AJARAN JNANA BUDA SIWA PADA ASHRAM LEMBAH BHAYAM 2024-05-16T03:45:24+08:00 Nyoman Parbasana parbasana1955@gmail.com Relin D.E. ayurelin@gmail.com I Made Arsa Wiguna arsawiguna7@gmail.com <p>Penelitian ini berangkat dari permasalahan cara mencapai tujuan hidup mencapai Moksartam Jagadhita ya ca iti Dharma dalam ajaran Jnana Buda Siwa yang diajarkan di <em>Ashram</em> Lembah Bhayam di desa Bababahan, Kecamatan penebel, kabupaten Tabanan. Yang mana dalam ajaran Jnana Buda Siwa untuk mencapai tujuan tersebut Para Baktinya wajib untuk mengenal <em>Atman </em>sebagai<em> Sat Guru didalam diri</em> yaitu <em>Atman </em>sebagai penuntun hidup yang muncul dari dalam diri melalui hati nurani yang paling dalam sebagai tujuan hidup yang paling utama berdasrkan Hindu karena <em>Atman</em>lah yang maha tahu didalam diri. Mencapai tuntunan <em>Atman</em> adalah jalan untuk mencapai <em>moksartam jagadhita ya ca iti darmah”,</em> merupakan jalan yang unipersal dan memiliki berbagai macam parian terutama melalui jalan<em> tapa bharata yoga samadhi</em>. Adapun rumusan masalah yang diangkat : (1) Bagaimana eksistensi <em> Atman</em> sebagai <em>Sat Guru</em> dalam ajaran <em>Jnana Buda Siwa </em>yang diajarkan di <em>Ashram</em> Lembah Bhayam di Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan? (2) Apa aspek teologi Hindu pada konsep <em>Atman</em> sebagai <em>Sat Guru</em> dalam ajaran<em> Jnana Buda Siwa</em> pada <em>Ashram</em> Lembah Bhayam di Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan? (3) Bagaimanakah implikasi penerapan <em>Atman</em> sebagai <em>Sat Guru</em> dalam ajaran <em>Jnana Buda Siwa</em> terhadap <em>Para Bhakti</em> di <em>Ashram</em> Lembah Bhayam di Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan?</p> <p>Teologi hindu yang di ajarkan pada ajaran <em>Jnana Buda Siwa</em> terutama tentang ajaran <em>Tri Purusa </em>yang terdiri dari Tuhan sebagai:<em> Parama Siwa, Sasdha</em> <em>Siwa</em> dan <em>Siwatman</em>. Hasil dari pada penelitian ini adalah<em> Para Bhakti</em> sebagai<em> Sisya</em> Maha Guru Sri Jaya Nara pada tahap awalnya diwajibkan: (1) Para calon<em> Sisya</em> wajib melatih diri dan berhadaptasi minimal satu tahun guna memantapkan dirinya untuk menjadi <em>Para Bhakti Ashram</em> Lembah Bhayam. Setelah itu baru bisa menerima penyucian <em>Upanayana Samkara. </em>Dan<em> sisya</em> yang<em> </em>boleh menerima <em>Upanayana Smkara</em> harus juga setelah berumur 14 tahun keatas. (2) Wajib melakukan pemujaan dan meditasi minimal sekali dalam sehari, mengembangkan cinta kasih terhadap sesama kehidupan, menumbuhkan rasa damai dan keiklasan dalam pengabdian. (3) Berbakti kepada orang tua, Guru penuntun dan tekun menumbuh kembangkan pengetahuan dalam jiwa. (4) Taat melaksanakan ajaran <em>Guru Padesa</em> Maha Guru Sri Jaya Nara guna menjadi <em>Para Bhakti Ashram</em> Lembah Bayam dengan kemuliaannya. (5) Siap menerima<em> sadhana</em> sebagai proses mengenal <em>Atman</em> sebagai <em>Sat Guru</em> dalam <em>samadhi</em>nya maupun dalam kondisi apapun yang dikehendaki oleh <em>Atman</em>nya. (6) Siap melakukan pengabdian terhadap Nusa dan Bangsa, berjuang dan melakukan doa pemujaan demi kapentingan kedamaian dunia.</p> <p> </p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3778 MAKNA SIMBOLIK CATUS PATHA AGUNG SEBAGAI TEMPAT PELAKSANAAN YADNYA DI KABUPATEN BANGLI 2024-06-07T11:51:38+08:00 I Wayan Wira wira@gmail.com I Gusti Ngurah Sudiana ngurahsudiana@uhnsugriwa.ac.id I Made Adi Brahman adibrahman@gmail.com <p>Simbol-simbol dalam agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Ketuhanan (teologi Hindu), karena simbol-simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kepada-Nya. Simbol-simbol tersebut berupa arca atau pratima untuk dewa-dewa, wahana dewata atau kendaraan dewa-dewa, bangunan suci untuk sthana memuja-Nya. Namun, sebelum kita lebih lanjut berbicara, ada ide bahwa sebuah kota yang dulunya menjadi simbol kerajaan sekarang menjadi pusat kabupaten/kota konsep yang dimaksud ini disebut <em>Catus patha</em>. Secara umum <em>Catus Patha </em>berwujud <em>catur muka</em> yang mana hampir seluruh masyarakat Hindu Bali sangat percaya bahwa yang bersemayam di <em>Catus patha</em> adalah <em>Sanghyang Catur Bhuana, </em>Akan tetapi <em>catus patha </em>yang berdiri di Kota Bangli tersebut adalah patung menggunakan simbol <em>Tri Murti</em>. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif dengan pendekatan eksperimen sehingga peneliti sebagai instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisa data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Sumber data primer yang dari hasil observasi di lapangan dan wawancara mendalam kepada para <em>Sulinggih</em> dan para <em>Pinandita</em> yang dianggap mengetahui kajian dalam penelitian ini. Sumber data Sekunder dalam penelitian ini berasal dari dokumen yaitu berupa data tertulis seperti buku atau literatur yang berhubungan dengan kajian permasalahan. Informan ditentukan secara <em>purposive sampling</em>, yakni terhadap mereka yang benar-benar berkecimpung di dalamnya. Dari hasil analisis yang didapatkan <em>Catus Patha agung </em>di Kota Bangli masih menjadi icon pemerintahan dimana masih terdapat unsur-unsurnya seperti <em>Puri</em> (Istana), <em>Wantilan</em> (ruang terbuka publik), alun-alun (ruang terbuka hijau), dan <em>Peken</em> (pasar) meskipun terdapat beberapa perubahan-perubahan pada masa kini. Sebagai pusat upacara <em>yadnya</em> seperti <em>tawur agung, ngerebeg, nanggluk merana, ngulapin </em>dan upacara-upacara lainnya, dan dalam ranah masyarakat terdapat sedikit polemik yang diantaranya simbol yang kurang relevan dengan <em>Catus Patha Agung </em>lainnya. Patung <em>Catus Patha Agung </em>di Kabupaten Bangli bahwa simbol tersebut terpajang simbol <em>tri murti</em>, sedangkan menurut beberapa lontar dan secara umum <em>Catus Patha Agung&nbsp; </em>bersthana <em>Shang Hyang Catur Bhuana </em>diidentikan dengan <em>catur muka </em>atau bermuka empat.</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3776 KONSEP KALEPASAN PADA TEKS BUBHUKSAH GAGAKAKING 2024-06-07T05:50:36+08:00 Ni Made Mitia Santika poniman@uhnsugriwa.ac.id Relin D.E. ayurelin@gmail.com I Made Adi Surya Pradnya suryapradnya@gmail.com <p><em>In order to achieve the final goal of this life, namely Moksa, there are various paths that can be taken. Several teaching sources contained in the Vedas, Itihasa, Puranas and Hindu literature are tools to be guided by in order to find the path to kalepasan. One of the sources from Hindu literature that is used as research regarding kalepasan in this case is the Bubhuksah Gagakaking Text. Meanwhile, the methods used are identification of the type of research, intertext observation, documentary, online data search, instruments followed by data analysis techniques and presentation of data analysis results. The text structure consists of Synopsis, Characters, Incidents, Plot, Setting, Theme and Message. Meanwhile, the teachings contained in Bubhuksah Gagakaking's text are Harmony, Moral Teachings, Shiva Buddha Teachings, Peditativity Teachings. The concept of kalepasan that can be explained consists of the Shiva Abhrawi Concept implemented by Gagakaking, namely a path to kalepasan through self-discipline, meditation by becoming a Pandita who always adheres to the provisions of the Veda, is faithful to the promise to avoid various taboos, is always compassionate, and does not commit murder. and abstain from eating meat. Meanwhile, Bubhuksah's concept of kalepasan Buddha Bhrawi is to always be self-disciplined by becoming an ascetic as a Buddhist priest, worshiping diligently facing west, eating everything he likes, killing game animals and eating them without any leftovers, as the basis for liberation of these animals. Kalepasan can be done perfectly through Tyaga Pati, namely self-discipline to follow the path of truth towards God with full sincerity without blaming others. Towards the One God who is supernatural or Acintya as the source of all that exists can be reached with concentration of mind, not through japa, meditation or science.</em></p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3651 POLA MODERASI BERAGAMA DALAM RELASI HINDU–KATOLIK DI BANJAR TUKA DESA DALUNG KABUPATEN BADUNG 2024-04-14T16:21:50+08:00 Sebastian Begobli Watuoto watuotosebastian@gmail.com I Nengah Duija duija@gmail.com I Gusti Made Widya Sena gusti_sena7@gmail.com <p>Relasi antarumat beragama telah melahirkan pola moderasi beragama yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai pelosok tanah air. Hidup rukun, damai dan saling menghargai antar teman dan tetangga, antar kampung dan kawasan serta antar suku bangsa yang berbeda paham keagamaan sudah membudaya dan bahkan sudah menjadi bagian dari kearifan lokal sejak berabad-abad yang lalu. Tradisi rukun, damai, saling menghargai, tenggang rasa dan gotong royong telah membumi menjadi dasar dalam pola moderasi beragama dan memiliki peran penting dalam membangun kerukunan beragama seperti halnya terjadi di Banjar Tuka Desa Dalung. Pola moderasi beragama telah tertanam dalam konstruksi keyakinan pada tataran personal maupun sosial, dilestarikan melalui tradisi dan ajaran luhur, ditampilkan dalam karya budaya sebagai penanda hadirnya pola moderasi beragama di tengah masyarakat. Berangkat dari beberapa kasus intoleran dan konflik sosial keagamaan yang berbasis agama, negara Kesatuan Republik Indonesia perlu memasyarakatkan moderasi beragama. Sebab, dengan sikap moderat dalam beragama akan bisa tercapai kerukunan antar umat beragama. Pola moderasi beragama perlu diimplementasikan secara berkesimnabungan untuk dapat menjalin kesatuan dan persatuan masyarakat menuju masyarakat aman, damai, sejahtera dan harmonis.</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3714 WARAK KERURON 2024-05-21T14:55:17+08:00 I Gusti Ngurah Atmaja igatmaja@gmail.com I Ketut Donder ketutdonder@gmail.com I Gusti Made Widya Sena gusti_sena7@gmail.com <p>Upacara Warak Keruron adalah sebuah upacara yang baru mulai dilaksanakan sejak era tahun 1970 -an. Sebelum era tahun 1970an, umat Hindu di Bali tidak begitu mempersoalkan jika terjadi keguguran. Keguguran dianggap sebagai fenomena biasa yang tidak perlu di adakan upacara tertentu, karena dianggap tidak leteh. Namun seiring perkembangan jaman, ternyata banyak wanita yang setelah mengalami keguguran mengalami berbagai masalah, gangguan psikologis, traumatik sampai halusinasi dan kesulitan lainnya. Menurut sastra suci Hindu, keguguran adalah kejadian yang menimbulkan cuntaka/leteh baik pada diri yang mengalami maupun lingkungannya. Sehingga untuk menghilangkannya perlu diadakan upacara yang disebut Upacara Warak Karuron. Tujuannya adalah menghilangkan cuntaka/leteh bagi si ibu, sehingga tidak terus mengalami gangguan psikologis yang dampaknya sangat luas. Dan juga untuk membebaskan roh sang bayi yang masih terperangkap dalam tubuh prakertinya, untuk itu unsur prakertinya yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhuta dikembalikan ke asalnya, roh sang bayi disucikan agar bisa meneruskan perjalanannya ke alam sunialoka.</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3645 FAKTOR TERJADINYA TRANSFORMASI ETNOPEDAGOGI PADA SILA SESANA SISYA BRAHMANA BUDDHA DI PURI SEMARAPURA 2024-04-09T16:25:48+08:00 Anak Agung Aditya Adnyana adityaadnyana071184@gmail.com I Wayan Winaja winaja@gmail.com I Gusti Ayu Suasthi ayusuasthi@gmail.com <p><em>Education that comes from local wisdom cannot only be adapted to formal education. Informal and non-formal education is a big forum in the realm of education in the family and community environment. One of them can be seen from the parampara culture of Buddhist Brahmin spiritual education which originates from the Buddhakeling paguron tradition which was passed down to one of his Sisyas in Puri Semarapura, which had an impact on the transformation into a Sisya with the Prajna Paramita character. This article aims to reveal the factors of ethnopedagogical transformation in the Sila Sesana Sisya Brahmana Buddha in Puri Semarapura. The results of the study show that there is a transformation in the realm of thoughts, words and deeds as well as gradual educational patterns through Wiku Dhang Acarya, Wiku Ngeraga and Wiku Anglokapalasraya. In this context, the role of the Sesana Sisya Brahmin Buddhist Precepts in Puri Semarapura, which are inherited in a tangible and intangible way, is important to optimize the ability of a Buddhist Brahmin to understand, act and practice the Sesana text through religious literature in actual practical life.</em></p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3610 KESADARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA 2024-03-23T16:16:24+08:00 Ketut Suprapti ketutsuprapti3@gmail.com I Made Girinata girinata@gmail.com I Made Adi Brahman adibrahman@gmail.com <p>Studi tentang kesadaran telah menjadi fokus utama dalam berbagai tradisi filosofis dan spiritual di seluruh dunia. Salah satu teks kuno yang menyelidiki konsep ini secara mendalam adalah Māṇḍūkya Upaniṣad, sebuah teks Hindu kuno yang berfokus pada pengertian tentang kesadaran dalam konteks eksistensi manusia. Abstrak ini menggali implikasi dari pemahaman tentang kesadaran seperti yang terungkap dalam Māṇḍūkya Upaniṣad terhadap kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, akan dibahas konsep-konsep kunci seperti Turiya, atman, dan jaringan hubungan antara kesadaran dan realitas. Selain itu, implikasi praktis dari pemahaman ini terhadap kehidupan sehari-hari juga diperdebatkan. Melalui pendekatan analisis tekstual dan filosofis, abstrak ini bertujuan untuk memperluas pemahaman tentang kesadaran dan bagaimana pemahaman ini dapat membawa perubahan signifikan dalam kehidupan manusia. Kesimpulannya, studi ini menyoroti pentingnya refleksi mendalam tentang kesadaran dalam konteks spiritualitas dan filosofi Hindu, serta relevansinya terhadap kehidupan manusia pada masa kini.</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3698 METANARASI DALAM TEKS BRAHMA SŪTRA 2024-05-13T05:46:57+08:00 Adi Suryana adisuryana1752@gmail.com I Nyoman Subagia nyomansubagia@gmail.com I Made Adi Brahman adibrahman@gmail.com <p>Sebagai manusia yang hidup di dunia yang penuh dengan rahasia besar alam semesta pastinya penyelidikan tentang metafisika menjadi hal yang menarik. Hal-hal yang bersifat metafisika umumnya dapat dicari melalui teks suci maupun penalaran akademis. Maka dari itu metanarasi yang terbentuk dari objek-objek metafisik merupakan sebuah hal yang menarih untuk dibahas. Terlebih lagi pemahaman yang mendalam tentang hakekat objek metafisika ini akan membantu manusia menemukan berbagai hal yang masih tersembunyi di alam semesta. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan di alam semesta tentunya dapat diakses melalui berbagai sumber salah satunya kitab suci. Dalam konteks ini <em>Brahma Sūtra </em>sebagai salah satu teks suci agama Hindu memiliki metanarasi yang didalamnya memuat pemaparan tentang objek-objek metafisika yang menarik untuk dibahas. Pembahasan ini meliputi konsep <em>Brahman, atman</em> dan roh, pikiran, <em>prāņa, </em>dan <em>mokșa</em><em>. </em>Beberapa metanarasi dalam kajian ini akan dijabarkan secara ilmiah melalui kajian Teologi Hindu tentunya dengan mencantumkan berbagai sumber teks dalam<em> Brahma Sūtra. </em>Metode yang digunakan adalah Kualitatif dengan pendekatan Deskriptif yang digunakan untuk menganalisis teks <em>Brahma Sūtra.</em> Dari kajian ini dapat diketahui bahwa <em>Brahman</em> merupakan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan entitas tertinggi dari seluruh alam semesta. <em>Atma </em>dan roh merupakan bagian dari <em>Brahman</em> yang harus berusaha kembali pada <em>Brahman</em> setelah kematian. Pikiran merupakan alat akses alam semesta sekaligus untuk mengakses kesadaran <em>Brahman</em>. <em>Prāņa </em>merupakan energi atau daya vital mahluk hidup yang digunakan sebagai alat mengakses kesadaran <em>Brahman</em>. Terahir adalah <em>mokșa </em>yaitu tujuan akhir dari mahluk hidup yang merupakan kesadaran/kebebasan tertinggi.</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu https://ojs.uhnsugriwa.ac.id/index.php/PJAH/article/view/3791 KEMULIAAN WANITA DALAM CERITA SABHA PARWA 2024-06-10T11:46:18+08:00 Ni Made Tisna Ningsih tisnas2bw@gmail.com I Nyoman Subagia nyomansubagia@gmail.com I Gede Suwantana suwantana@uhnsugriwa.ac.id <p>Kemuliaan wanita dalam cerita Sabha Parwa dari Mahabharata mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan yang mendasari teologi Hindu tentang peran wanita dalam masyarakat dan spiritualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemahaman tentang kemuliaan wanita dalam cerita epik Hindu ini dari perspektif teologi. Latar belakang masalah menyoroti pentingnya memahami peran wanita dalam karya sastra Hindu klasik untuk memperkuat nilai-nilai kesetaraan gender dan menghormati warisan budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis teks, dengan fokus pada karakter-karakter wanita utama dalam cerita Sabha Parwa seperti Kunti, Draupadi, dan Gandhari. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan konteks budaya, sosial, dan teologis pada saat Mahabharata ditulis, serta interpretasi teks oleh para cendekiawan Hindu.</p> <p>Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemuliaan wanita dalam cerita Sabha Parwa tercermin dalam peran mereka sebagai pelindung keluarga, penasihat bijaksana, dan pilar moral. Wanita-wanita ini memperlihatkan keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan hidup, yang dianggap sebagai manifestasi dari aspek-aspek dewi dalam tradisi Hindu. Implikasi teologis dari penelitian ini menyoroti pentingnya menghormati peran wanita dalam masyarakat dan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Wanita dalam cerita Sabha Parwa dimuliakan karena peran mereka sebagai penjaga keluarga, pembawa kebijaksanaan, dan pilar moral. Mereka menunjukkan keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan hidup, yang dianggap sebagai manifestasi dari aspek-aspek dewi dalam tradisi Hindu. Implikasi dari pemuliaan wanita ini dalam cerita Hindu adalah pengakuan akan kekuatan spiritual, kebijaksanaan, dan kontribusi mereka dalam menjaga keseimbangan dalam alam semesta.</p> <p>Penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kemuliaan wanita dalam cerita Sabha Parwa dari perspektif teologi Hindu, dan menekankan pentingnya menghargai dan memahami peran wanita dalam warisan budaya dan spiritualitas Hindu. Pemuliaan wanita dalam cerita Sabha Parwa mencerminkan nilai-nilai teologis Hindu yang menghargai peran wanita sebagai simbol kekuatan spiritual dan kebijaksanaan, serta memperkuat pentingnya kesetaraan gender dan penghargaan terhadap keberagaman dalam masyarakat Hindu.</p> 2024-09-30T00:00:00+08:00 Hak Cipta (c) 2024 Pangkaja: Jurnal Agama Hindu