MITIGASI BENCANA DALAM LONTAR ROGHA SANGHARA BHUMI
Kajian Religius Saintifik
Abstrak
Pada prinsip sosio-ekologi, adanya berbagai fenomena alam merupakan bentuk dinamis yang terjadi dalam koridor spiritual dan empiris manusia dalam mengetahui substansi pertalian hidup antara berbagai dimensi, baik yang bersifat fisik maupun metafisik. Agama Hindu di Bali telah diwarisi bekal pengetahuan fundamental mengenai konteks kebencanaan, yang dalam berbagai praktik ritual yang dilakukan memiliki tujuan utama untuk menyelaraskan kehidupan antara manusia, Tuhan, dan alam. Berkenaan dengan pernyataan tersebut, pengetahuan mengenai kebencanaan dan mitigasinya terangkum dalam salah satu teks tattwa yang bernama Lontar Rogha Sanghara Bhumi. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif. Untuk menghasilkan penelitian yang bersifat valid dan kredibel, maka penelitian ini menggunakan dua jenis landasan teoritis untuk menguji kebenaran pada data-data yang diperoleh selama penelitian. Dalam hal ini, teori eco-semiotika digunakan untuk menganalisis tanda-tanda bencana yang disampaikan pada Lontar Rogha Sanghara Bhumi, sedangkan teori Teologi Tri Hita Karana digunakan untuk menganalisis mitigasi yang dilakukan untuk penanggulangan bencana menurut Lontar Rogha Sanghara Bhumi, dan pada teknik analisis data digunakan analisis kontent sehingga penelitian ini bisa disajikan secara deskriptif. Temuan yang dihasilkan pada penelitian ini adalah adanya tanda-tanda yang nampak sebelum dan dirasakan sebelum terjadinya bencana gempa. Gempa-gempa pada tiap sasih tersebut diyakini memiliki nilai dan dampak yang berbeda-beda sehingga mampu diketahui jenis gempa yang memiliki dampak merusak alam serta jenis gempa yang diyakini sebagai tanda semesta diberikan anugerah oleh Tuhan. Temuan lainnya, bahwa mitigasi yang patut dilakukan untuk menanggulangi bencana tersebut adalah dengan cara melaksanakan berbagai ritual tawur seperti Pancawalikrama dan Labuh Gentuh untuk menanggulangi bencana yang hadir secara periodik, sedangkan menghaturkan upacara nangluk merana, prayascita, dan guru piduka digunakan untuk menanggulangi bencana yang hadir secara insidental.






